![]() |
Dok.cakrainvestigasi.com |
POJOK OPINI
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan masyarakat menunjukkan KTP dan barcode saat membeli BBM subsidi kembali menuai perdebatan. Di satu sisi, langkah ini dinilai sebagai upaya untuk menata distribusi subsidi agar lebih tepat sasaran, namun di sisi lain, masyarakat merasa terbebani oleh prosedur yang rumit dan kurang efisien.
Secara prinsip, transparansi data pembeli BBM adalah ide yang baik. Selama ini, subsidi BBM kerap bocor ke sektor yang tidak seharusnya menerima. Dengan sistem KTP dan barcode, pemerintah dapat memetakan siapa pengguna sebenarnya, berapa banyak konsumsi yang dilakukan, serta memastikan bahwa subsidi benar-benar dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan. Tidak semua masyarakat memiliki akses digital yang memadai. Di wilayah pedesaan, masih banyak pengguna kendaraan yang belum terbiasa dengan sistem aplikasi MyPertamina atau koneksi internet yang tidak stabil. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya menciptakan keadilan justru bisa menimbulkan ketimpangan baru antara warga kota dan desa.
Selain itu, petugas SPBU pun menghadapi tekanan tambahan. Proses verifikasi identitas dan pemindaian barcode memperlambat pelayanan dan menimbulkan antrean panjang, terutama di jam sibuk. Jika sistem mengalami gangguan, pelayanan bisa berhenti total.
Idealnya, pemerintah tidak hanya menekankan aspek kontrol, tetapi juga menyediakan infrastruktur pendukung. Sosialisasi yang masif, penyediaan perangkat offline di SPBU, dan mekanisme alternatif bagi warga tanpa akses digital adalah kunci agar sistem ini tidak sekadar menjadi formalitas, melainkan benar-benar efektif.
Kebijakan ini bisa menjadi langkah maju menuju subsidi tepat sasaran, tetapi hanya jika dilaksanakan dengan bijak dan mempertimbangkan kesiapan masyarakat di semua lapisan. Tanpa itu, yang terjadi hanyalah birokrasi baru yang membebani rakyat kecil.
Social Header
Berita