![]() |
Ilustrasi cakrainvestigasi.com |
POJOK OPINI
Oleh : Mas Pay
Kehebohan publik soal aksi joget anggota DPR yang berujung pada pemecatan, menjadi potret kecil dari wajah politik Indonesia hari ini. Aksi yang tampak sederhana, sekadar berjoget di ruang parlemen, justru menyingkap persoalan yang lebih dalam: krisis etika, runtuhnya wibawa lembaga, hingga tarik-menarik kepentingan partai.
Ruang Rakyat yang Berubah Jadi Panggung Hiburan
Parlemen adalah tempat suci demokrasi, tempat suara rakyat diartikulasikan menjadi kebijakan. Namun ketika para wakil rakyat menjadikannya ajang hiburan, rakyat justru merasa dikhianati. Joget mungkin dianggap ringan, tapi dalam perspektif etika politik, ia simbol kelalaian. Bayangkan, di tengah rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok naik, justru wakil mereka bergembira ria di kursi kekuasaan.
Pemecatan: Hukuman atau Drama Politik?
Pemecatan pasca joget DPR ini memang memberi pesan keras bahwa partai ingin menegakkan disiplin.
Namun publik bertanya-tanya: apakah pemecatan benar-benar didorong oleh alasan etika, atau sekadar panggung politik untuk menunjukkan citra tegas di hadapan rakyat? Apalagi, sejarah mencatat bahwa banyak pelanggaran yang jauh lebih berat, korupsi hingga manipulasi suara sering kali tidak berujung pada sanksi sekeras ini.
Cermin Lemahnya Demokrasi Internal
Fenomena ini menyingkap kembali betapa dominannya partai atas wakil rakyat. Seorang anggota DPR bisa dipecat bukan oleh rakyat yang memilihnya, melainkan oleh segelintir elit partai. Artinya, kedaulatan rakyat masih terpinggirkan. Yang berdaulat bukan lagi pemilih, melainkan kepentingan partai. Demokrasi kita pun tampak pincang, karena wakil rakyat lebih takut kepada ketua umum ketimbang suara konstituen.
Pelajaran untuk Publik
Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi publik. Bahwa memilih wakil rakyat bukan sekadar soal popularitas atau hiburan, melainkan soal kualitas moral dan integritas. Joget di parlemen hanyalah simbol-simbol bahwa sebagian wakil rakyat masih belum menempatkan diri sebagai pejabat publik yang mengemban amanah.
Pemecatan anggota DPR pasca joget seharusnya tidak berhenti pada pencopotan personal. Ia mesti jadi refleksi bersama: bagaimana memperbaiki etika politik, mengembalikan wibawa parlemen, dan memastikan kedaulatan rakyat tidak lagi dikalahkan oleh kepentingan partai.
Sebab, jika parlemen terus jadi panggung sandiwara, maka demokrasi hanya tinggal nama, sementara rakyat tetap menjadi penonton yang kecewa.
Social Header
Berita