![]() |
| PMMY Audiensi dengan DPRD DIY: Minta Keadilan atas Larangan Mengamen di Malioboro. /Foto. dok/ LBH. cakrainvestigasi.com/ |
YOGYAKARTA, Cakrainvestigasi.com — Paguyuban Musisi Malioboro Yogyakarta (PMMY) melakukan audiensi dengan Komisi D DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menyampaikan aspirasi terkait larangan mengamen keliling di kawasan Malioboro serta penyitaan alat musik milik para pengamen.
Audiensi tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD DIY, Anton Prabu Semendawai, S.H., M.Kn. Hadir dalam kesempatan itu, Agus Kopakafia selaku Ketua PMMY, Boyni Kristianto sebagai Sekretaris PMMY, serta sejumlah anggota paguyuban. PMMY juga didampingi tim dari LBH Rajawali Mas, yakni Abdul Rahman, S.H. dan Rahman dari bidang advokasi.Kamis ( 13/11)
Dalam forum tersebut, PMMY menyampaikan keberatan atas kebijakan pelarangan mengamen keliling dan penyitaan alat musik oleh aparat. Mereka juga menyesalkan pernyataan Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yeti, yang disebut menyatakan bahwa “alat mengamen itu sampah semua.”
Turut hadir pula perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY (Disbud DIY), Indro, yang menegaskan bahwa penataan pengamen harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat.
Baca juga : Gunakan Sertifikat Palsu, Perempuan Sleman Tipu BMT Bantul Rp909 Juta
Sementara itu, perwakilan Satpol PP DIY menjelaskan bahwa hingga kini belum ada peraturan daerah (Perda) yang secara khusus melarang aktivitas mengamen. Peraturan yang digunakan baru sebatas perda mengenai penataan gelandangan dan pengemis.
Perwakilan dari UPT Kawasan Cagar Budaya, Anggi, yang hadir bersama Satpol PP Kota Yogyakarta, mengungkapkan bahwa larangan mengamen keliling di Malioboro merupakan perintah lisan dari Wali Kota Yogyakarta yang mulai diberlakukan sejak 7 Oktober 2025. Ia juga menyebut telah dilakukan pendataan terhadap 116 pengamen “by name”, serta penetapan tujuh titik lokasi resmi untuk mengamen — lima titik di kawasan Malioboro dan dua titik di Jalan Mangkubumi.
Menanggapi hal tersebut, Anton Prabu Semendawai menilai bahwa para pengamen Malioboro seharusnya dibina dan diberi wadah yang layak, bukan dilarang secara sepihak.
“Tidak pantas seorang pejabat menyebut alat musik pengamen sebagai sampah. Di negara maju pun pengamen tetap ada dan menjadi bagian dari budaya jalanan. Larangan secara lisan ini juga tidak memiliki dasar hukum. Kami meminta agar alat musik yang disita segera dikembalikan,” tegas Anton.
Anton menambahkan, pihaknya akan menginisiasi rapat koordinasi gabungan antara DPRD DIY, dinas terkait, dan PMMY guna mencari solusi terbaik yang adil bagi semua pihak.
![]() |
| PMMY Audiensi dengan DPRD DIY: Minta Keadilan atas Larangan Mengamen di Malioboro. /Foto. dok/ LBH. cakrainvestigasi.com/ |
Sementara itu, Krisna Triwanto, S.H., Ketua Yayasan YPK Rajawali Mas, yang turut mendampingi PMMY, mengungkapkan bahwa sebelumnya para pengamen telah bersilaturahmi dengan Wali Kota Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa pengamen masih diperbolehkan mengamen keliling, dengan catatan tetap menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keamanan kawasan Malioboro.
“Pak Wali bahkan berencana membuat payung hukum dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwal) untuk melindungi para pengamen, serta menyiapkan anggaran melalui Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) guna mendukung tambahan penghasilan mereka. Kalau dibina dengan baik, pengamen justru bisa menjadi daya tarik wisata Malioboro,” ujar Krisna.
Krisna juga menyoroti pendataan pengamen yang dilakukan oleh pihak UPT Cagar Budaya dan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta karena dinilai tidak transparan dan tanpa sosialisasi.
Hal senada disampaikan Sudarmanto, koordinator lapangan PMMY. Ia mempertanyakan keabsahan data yang menyebut adanya 116 pengamen di Malioboro, karena menurutnya, selama periode 2020–2025, jumlah pengamen aktif hanya sekitar 55 orang, termasuk rombongan Girli dan pengamen tunanetra.
“Kami heran, dari mana data 116 itu muncul. Karena jumlah kami tidak sebanyak itu,” ungkap Sudarmanto.
Audiensi ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menemukan solusi yang adil dan manusiawi bagi para musisi jalanan Malioboro, agar mereka tetap bisa berkarya tanpa kehilangan ruang hidup di jantung wisata Yogyakarta tersebut. ( Pay )



Social Header
Berita