Breaking News

Cerita dari Kampung Pengok yang sedang Dipantau Diam-Diam

(Work Shop (Bengkel)Lokomotif Untuk Jawa
 )




YOGYAKARTA,Cakrainvestigasi.com | Malam itu belum terlalu larut, tapi hawa di Kampung Pengok terasa asing. Dua orang duduk diam di dalam sebuah mobil Kijang Innova putih, pelat AB **** IX. Mereka tak menyapa, tak bicara, apalagi menjelaskan maksud kehadirannya. Mereka bukan warga, dan bukan pula tamu. Warga sempat curiga, mungkin _“mobil goyang”_ yang iseng, tapi setelah ditanya oleh linmas, jawaban mereka hanya satu: dari *“PT KAI”.*


Beberapa warga menduga jumlah mereka lebih banyak. Dua orang terlihat, empat lainnya diyakini menyebar di titik-titik sekitar kampung. Diam-diam hadir, cukup membuat gelisah. Apalagi, hingga kini belum ada putusan hukum apapun terkait sengketa antara warga Pengok dan PT KAI. Tapi kehadiran mereka justru datang lebih dulu dari keputusan.


Sebagai seseorang mengagumi dan mencintai perkeretaapian, saya tahu pola ini bukan baru. Di Bong Suwung, warga dibungkam dengan tanah yang diambil perlahan. Hancur lebur, hangus, dan entah bagaimana nasib warga eks Bong Suwung sekarang. 


Di Lempuyangan, ketidakjelasan menjalar tanpa arah. Entah nasib warga Lempuyangan akan seperti Bong Suwung atau tidak, saya kurang mendapatkan informasi. Semoga saja Sabda/ ucapan Gubernur DIY selaku Raja Jogja didengar oleh PT KAI. Karena kalau ucapan seorang Raja saja tidak digubris, bagaimana suara rakyat kecil yang siap-siap hancur lebur itu.


Dan sekarang, saya kira Kampung Pengok mulai terasa jadi sasaran berikutnya.


Dari informasi yang saya dapatkan, diluar nama Kampung ini, yang bisa di cek di media sosial, Pengok bukan kampung yang besar. Tapi setiap gang kecilnya menyimpan cerita panjang. Di sinilah rel, rumah, dan sejarah tinggal berdempetan. Tapi kini, rumah-rumah itu perlahan terasa seperti jadi beban di mata kekuasaan.


Saya tak tinggal di Pengok, tapi saya dititipi cerita. Ya, bisalah diangggap hanya mendengar. Singkatnya, terdapat Salah satu titik sengketa ada di Pengok Blok C, Nomor 1, saat ini masih dalam proses hukum. Belum ada keputusan apapun. Tapi orang-orang diam itu telah datang. Mengawasi. Mengintai. Seolah kampung Pengok ini sedang diam-diam dikepung.


Warga pun mulai bertanya:

*Kenapa mereka datang tanpa kabar?*

*Kenapa bukan dialog dulu yang dikedepankan?*

*Apakah kampung ini sedang dijadikan target?*


Saya kira Warga Pengok bukan orang-orang bodoh. Dulu mereka pernah menang di pengadilan saat PT KAI Daop 6 menaikan sewa tarif rumah di tahun 2003 padahal itu sudah bukan miliknya dan perjanjian dengan Kraton Jogja Habis tahun 1971 serta belum diperbaharui. Terbongkar di pengadilan, ternyata "duit warga pengok" hanya dimainkan oleh oknum-oknum PT KAI Daop 6 Yogyakarta.


Tapi barangkali mereka sudah terlalu lelah. Sudah berbeda generasi, dulu, peristiwa tahun 2003-2005, sekarang 2025. Sudah 20th dan banyak generasi yang "mungkin" tidak paham dan Terlalu sering ditindas dengan wajah ramah dan kalimat yang rapi.


Di momen seperti ini, saya teringat tulisan Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis. Ia pernah menyampaikan bahwa kekuasaan di zaman modern tak selalu hadir lewat senjata atau paksa, tapi justru lewat pengawasan yang diam-diam. Manusia tak dipukul, tapi dipantau terus-menerus hingga merasa tertekan dan akhirnya tunduk. Inilah yang disebutnya *"Panoptikon"*—kekuasaan yang mengendalikan bukan lewat kekuatan, tapi lewat rasa selalu diawasi.


Apa yang terjadi di Pengok terasa seperti itu. Tak ada bentakan. Tak ada surat resmi. Tapi kehadiran yang membungkam. Ini bukan sekadar penjagaan, ini bentuk lain dari penaklukan.

Saya berpikir dan mengira Warga tak menolak pembangunan. Tapi yang ditolak adalah cara-cara yang licin, yang tak menghargai kemanusiaan. Kalau memang ada rencana, mengapa tak disampaikan? Kalau memang ada niat baik, mengapa datang seperti hantu?

Saya menulis ini bukan untuk menakut-nakuti. Tapi saya percaya, suara kecil harus disampaikan sebelum benar-benar hilang. Karena bila warga Pengok terus diam, tak lama lagi kampung ini hanya akan jadi cerita. Layaknya apa yang saya lihat dengan mata kepala sendiri, di berbagai tempat. Yang terbaru adalah "Bong Suwung" dan semoga "Lempuyangan" tidak se-tragis Bong Suwung

Saya percaya, rakyat kecil pun punya hak untuk dihormati. Untuk hidup tenang. Untuk diperlakukan sebagai manusia. Maka jangan biarkan kampung pengok hilang diam-diam. Satu demi satu, seperti senyap yang menelan malam. 

Seperti dikutip dari _Wasiat Kalung Besi (WKB),

( Khumeri ).




© Copyright 2024 - CAKRAINVESTIGASI.COM