
Foto ilustrasi/cakrainvestigasi.com 
POJOK OPINI
Oleh: Mas Pay
Dalam era keterbukaan informasi publik, keberadaan Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) seharusnya menjadi garda depan dalam mewujudkan transparansi dan pemerataan akses informasi di daerah. Namun, belakangan muncul sorotan dari kalangan insan pers di Gunungkidul terkait adanya dugaan “tebang pilih” dalam praktik undangan peliputan dan kegiatan resmi yang dilakukan oleh Kominfo Gunungkidul.
Beberapa jurnalis mengaku tidak mendapatkan undangan peliputan dari Kominfo, padahal media mereka telah lama aktif dan terdaftar resmi. Di sisi lain, sejumlah media tertentu justru terkesan lebih sering diundang dan dilibatkan dalam kegiatan pemerintahan. Kondisi ini menimbulkan kesan diskriminatif dan tidak sejalan dengan semangat keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.
Kominfo semestinya memahami bahwa jurnalis memiliki peran strategis dalam menyebarluaskan informasi pembangunan kepada masyarakat. Perlakuan yang tidak merata terhadap media justru berpotensi menimbulkan jarak antara pemerintah dan publik, serta menimbulkan kesan bahwa informasi hanya diberikan kepada pihak-pihak tertentu.
Transparansi dan pemerataan akses informasi tidak bisa hanya menjadi jargon. Pemerintah daerah, melalui Kominfo, perlu menata ulang mekanisme komunikasi publik agar seluruh media — baik besar maupun kecil, baik nasional maupun lokal — memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh informasi.
Sudah saatnya Kominfo Gunungkidul kembali kepada prinsip dasar pelayanan publik: adil, transparan, dan inklusif. Karena sejatinya, ketika informasi hanya diberikan kepada segelintir pihak, di situlah kepercayaan publik mulai terkikis.
Social Header
Berita