![]() |
| Foto.Ilutrasi.cakrainvestigasi.com. |
SLEMAN,Cakrainvestigasi.com – Penanganan perkara dugaan penyimpangan Dana Hibah Pariwisata Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Tahun Anggaran 2020 di Kabupaten Sleman menuai sorotan. Sejumlah pihak menilai pasal dakwaan yang diterapkan terhadap para terdakwa belum mencerminkan substansi pelanggaran hukum yang terjadi.
Dana Hibah Pariwisata yang bersumber dari pemerintah pusat tersebut merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total anggaran nasional mencapai Rp3,3 triliun. Dana ini ditujukan untuk membantu pemulihan sektor pariwisata yang terdampak pandemi Covid-19.
Dalam ketentuan huruf f Kriteria Umum Penerima Hibah Pariwisata, pemerintah daerah kabupaten/kota diwajibkan membagi dana hibah dengan komposisi 70 persen untuk bantuan langsung kepada pelaku industri hotel dan restoran, serta 30 persen disetorkan ke kas umum daerah.
Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Keputusan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Nomor KM/704/PL.07.02/M-K/2020 tertanggal 9 Oktober 2020. Pada huruf G angka 1 poin c ditegaskan bahwa dana hibah pariwisata wajib digunakan untuk penanganan dampak ekonomi dan sosial pandemi Covid-19, khususnya di sektor pariwisata.
Namun dalam pelaksanaannya, penyaluran dan penggunaan Dana Hibah Pariwisata di Kabupaten Sleman diduga tidak sesuai dengan peruntukan sebagaimana diatur dalam petunjuk teknis tersebut. Dugaan penyimpangan inilah yang kemudian menyeret sejumlah pihak ke proses hukum.
Baca juga : Pemerintah Kabupaten Sleman Lakukan Kerjasama Bersama Kejati DIY Guna Tingkatkan Sinergi Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial Bagi Pelaku Tindak Pidana |
Terkait penerapan pasal terhadap salah satu terdakwa, Sri Purnomo, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DIY menyampaikan bahwa kewenangan penentuan pasal dakwaan berada pada Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Kalau soal penerapan pasal dalam dakwaan, saya harus menanyakan langsung ke JPU-nya,” ujar Kasi Penkum Kejati DIY saat dikonfirmasi awak media, Sabtu (20/12/2025).
Seiring dengan konstruksi perkara tersebut, berkembang pandangan bahwa pasal yang lebih tepat diterapkan adalah Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP.
Pasal 2 UU Tipikor mengatur perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) memperberat ancaman pidana apabila tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, termasuk saat negara menghadapi bencana nasional non alam seperti pandemi Covid-19.
Dengan demikian, penerapan pasal tersebut dinilai lebih relevan mengingat Dana Hibah Pariwisata merupakan bagian dari kebijakan strategis negara dalam situasi darurat pandemi. Publik pun menanti ketegasan aparat penegak hukum agar penanganan perkara ini tidak hanya memenuhi aspek formil hukum, tetapi juga mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum.( Khomeri ).

Social Header
Berita